![]() |
| Dokumen Pribadi |
Oleh: Muhammad Fatma Wahyu Illahi, Ketua Umum IPRY-KK
(Ir. Soekarno)
Menjelang akhir 2025, denyut kehidupan masyarakat di Kabupaten Kampar masih diwarnai kesulitan yang nyata. Di banyak pelosok, warga berjuang sekadar untuk bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi yang belum beranjak membaik. Sementara itu, hiruk pikuk para elit politik di pemerintahan daerah justru menjadi tontonan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Rakyat di Tengah Ketimpangan
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap penganggaran daerah harus melalui pembahasan dan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif. Namun, Ketua Komisi I DPRD Kampar mengaku tidak mengetahui proses penganggaran tersebut. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar: sejauh mana fungsi pengawasan DPRD dijalankan secara serius?
Dalam teori utilitarianisme Jeremy Bentham, keadilan diukur dari sejauh mana kebijakan membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Maka, ketika anggaran publik justru digunakan untuk memenuhi gengsi jabatan, di situlah keadilan sosial bagi rakyat menjadi terabaikan.
Rakyat Berhak Marah
Rakyat seharusnya tidak perlu terlibat dalam hiruk pikuk politik antar-elit. Namun, ketika yang dipersoalkan menyangkut penggunaan APBD—uang hasil pajak dan keringat rakyat—mereka berhak untuk bersuara dan menuntut akuntabilitas.
DPRD sebagai representasi rakyat semestinya bertindak tegas. Evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan anggaran, termasuk pengadaan kendaraan dinas mewah, perlu dilakukan. Dana publik lebih layak dialokasikan untuk hal-hal yang berdampak langsung pada masyarakat: perbaikan fasilitas pendidikan, beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, peningkatan layanan kesehatan, pemberdayaan UMKM, serta penciptaan lapangan kerja.
Saatnya Pemerintah Menunduk
Harga kebutuhan pokok yang tinggi, akses air bersih yang terbatas, dan infrastruktur desa yang rusak menjadi potret nyata persoalan mendasar di Kampar. Inilah seharusnya yang menjadi fokus utama pemerintah daerah—bukan sekadar simbol status dan pertarungan ego politik.
Rakyat Kampar hari ini seperti “sudah jatuh tertimpa tangga”. Mereka menanggung beban ekonomi sekaligus menyaksikan pejabat publik yang abai terhadap penderitaan mereka. Pemerintahan yang seharusnya menjadi pelindung justru tampak elitis dan jauh dari nilai empati sosial.
Maka, rakyat tidak boleh diam. Mereka perlu terus bersuara, menuntut keadilan sosial, dan mengingatkan para pejabat bahwa kesejahteraan bukanlah hadiah dari kekuasaan, melainkan hak konstitusional yang wajib diwujudkan.
“Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat.” (Gurindam XII, Raja Ali Haji)
“Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul. Kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah. Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang itu menjadi kaya oleh karena korupsi (penyelewengan). Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan yang Maha Esa, adalah orang yang rendah!”
(Ir. Soekarno)
Menjelang akhir 2025, denyut kehidupan masyarakat di Kabupaten Kampar masih diwarnai kesulitan yang nyata. Di banyak pelosok, warga berjuang sekadar untuk bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi yang belum beranjak membaik. Sementara itu, hiruk pikuk para elit politik di pemerintahan daerah justru menjadi tontonan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Rakyat di Tengah Ketimpangan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kampar tahun 2024 mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 63.840 orang. Sementara tingkat pengangguran terbuka berada di angka 3,67 persen atau sekitar 12.923 orang. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kesejahteraan belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan daerah.
Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga belum merata. Di sejumlah kecamatan, warga masih kesulitan memperoleh layanan dasar yang layak. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa janji pembangunan yang inklusif belum benar-benar terwujud di bumi Kampar.
Pertikaian Elit di Tengah Krisis
Di tengah situasi tersebut, publik dikejutkan dengan pertikaian terbuka antara Bupati Kampar, Ahmad Yuzar, dan Sekretaris Daerah, Hambali. Dalam sebuah wawancara yang beredar luas, sang sekda melontarkan kritik tajam terhadap kinerja bupati. Perseteruan ini sontak menjadi sorotan publik.
Namun, bagi masyarakat yang setiap hari berjuang mencari nafkah, konflik antarpejabat itu tidak memberi dampak nyata bagi perbaikan hidup mereka. Alih-alih fokus menata kebijakan, para elit tampak terjebak dalam ego politik yang berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Pakar hukum tata negara, Gugun El Guyanie, menilai konflik terbuka semacam itu berisiko menimbulkan fragmented local government, atau pemerintahan daerah yang terpecah. Kondisi ini dapat mengganggu stabilitas politik dan pada akhirnya memperlambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemborosan Uang Rakyat
Ironisnya, di tengah kesulitan ekonomi warga, pemerintah daerah justru memutuskan membeli mobil dinas mewah jenis Toyota Vellfire dengan anggaran sekitar Rp 1,8 miliar. Keputusan ini menimbulkan gelombang kritik dari masyarakat yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pemborosan uang rakyat.
Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga belum merata. Di sejumlah kecamatan, warga masih kesulitan memperoleh layanan dasar yang layak. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa janji pembangunan yang inklusif belum benar-benar terwujud di bumi Kampar.
Pertikaian Elit di Tengah Krisis
Di tengah situasi tersebut, publik dikejutkan dengan pertikaian terbuka antara Bupati Kampar, Ahmad Yuzar, dan Sekretaris Daerah, Hambali. Dalam sebuah wawancara yang beredar luas, sang sekda melontarkan kritik tajam terhadap kinerja bupati. Perseteruan ini sontak menjadi sorotan publik.
Namun, bagi masyarakat yang setiap hari berjuang mencari nafkah, konflik antarpejabat itu tidak memberi dampak nyata bagi perbaikan hidup mereka. Alih-alih fokus menata kebijakan, para elit tampak terjebak dalam ego politik yang berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Pakar hukum tata negara, Gugun El Guyanie, menilai konflik terbuka semacam itu berisiko menimbulkan fragmented local government, atau pemerintahan daerah yang terpecah. Kondisi ini dapat mengganggu stabilitas politik dan pada akhirnya memperlambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemborosan Uang Rakyat
Ironisnya, di tengah kesulitan ekonomi warga, pemerintah daerah justru memutuskan membeli mobil dinas mewah jenis Toyota Vellfire dengan anggaran sekitar Rp 1,8 miliar. Keputusan ini menimbulkan gelombang kritik dari masyarakat yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pemborosan uang rakyat.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap penganggaran daerah harus melalui pembahasan dan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif. Namun, Ketua Komisi I DPRD Kampar mengaku tidak mengetahui proses penganggaran tersebut. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar: sejauh mana fungsi pengawasan DPRD dijalankan secara serius?
Dalam teori utilitarianisme Jeremy Bentham, keadilan diukur dari sejauh mana kebijakan membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Maka, ketika anggaran publik justru digunakan untuk memenuhi gengsi jabatan, di situlah keadilan sosial bagi rakyat menjadi terabaikan.
Rakyat Berhak Marah
Rakyat seharusnya tidak perlu terlibat dalam hiruk pikuk politik antar-elit. Namun, ketika yang dipersoalkan menyangkut penggunaan APBD—uang hasil pajak dan keringat rakyat—mereka berhak untuk bersuara dan menuntut akuntabilitas.
DPRD sebagai representasi rakyat semestinya bertindak tegas. Evaluasi menyeluruh terhadap penggunaan anggaran, termasuk pengadaan kendaraan dinas mewah, perlu dilakukan. Dana publik lebih layak dialokasikan untuk hal-hal yang berdampak langsung pada masyarakat: perbaikan fasilitas pendidikan, beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, peningkatan layanan kesehatan, pemberdayaan UMKM, serta penciptaan lapangan kerja.
Saatnya Pemerintah Menunduk
Harga kebutuhan pokok yang tinggi, akses air bersih yang terbatas, dan infrastruktur desa yang rusak menjadi potret nyata persoalan mendasar di Kampar. Inilah seharusnya yang menjadi fokus utama pemerintah daerah—bukan sekadar simbol status dan pertarungan ego politik.
Rakyat Kampar hari ini seperti “sudah jatuh tertimpa tangga”. Mereka menanggung beban ekonomi sekaligus menyaksikan pejabat publik yang abai terhadap penderitaan mereka. Pemerintahan yang seharusnya menjadi pelindung justru tampak elitis dan jauh dari nilai empati sosial.
Maka, rakyat tidak boleh diam. Mereka perlu terus bersuara, menuntut keadilan sosial, dan mengingatkan para pejabat bahwa kesejahteraan bukanlah hadiah dari kekuasaan, melainkan hak konstitusional yang wajib diwujudkan.
“Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat.” (Gurindam XII, Raja Ali Haji)


